Aku Dan Dia : Putih-Merah
Taufiq
Akbar itulah sebuah nama terindah yang diberikan kedua orang tuaku untukku.
Orang tuaku senang sekali memanggilku dengan nama Opik / Oo sehingga
teman-teman ikut memanggilku dengan nama itu dan seiring dengan berjalannya
waktu, nama Opik / Oo mulai bergeser popularitasnya dari ingatan teman-temanku
dengan nama Vick Toeflay -sebuah nama yang ku buat sendiri-, tetapi tetap orang
tuaku memanggilku dengan nama Opik / Oo hingga saat ini dan terkadang mereka
juga memanggilku Toeflay.
Sekitar
21 tahun yang lalu, Allah SWT mengizinkan aku untuk melihat dunia ini, tepatnya
pada hari Selasa, 9 Juli 1991 di Rumah Sakit Cilandak Marinir, Jakarta. Alhamdulillah
aku lahir secara normal dan juga sempurna, bahkan sangat amat sempurna karena
memiliki keluarga yang harmonis. Keharmonisan itu bertambah saat adikku lahir
sekitar 19 tahun yang lalu, sehingga jumlah anggota keluargaku kini menjadi 4
jiwa, meliputi ayah, ibu, aku, dan juga adikku.
Ayah
-yang biasa aku panggil dengan sebutan akrab yaitu “Babeh”-, merupakan sosok pemimpin
keluarga dan sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa
akan menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa aman, teduh dan
terlindungi. Awalnya aku memanggil dia dengan sebutan “Bapak”, akan tetapi
rasanya terlalu baku bahkan terkesan kaku bagiku, mulai dari situlah aku
berpikir untuk memberikan nama sebutan untuk dia, yang bisa dibilang nama
sebutan itu tidak terlalu baku dan kaku tapi cenderung terkesan lebih akrab
yaitu “Babeh”. Sebutan “Babeh” memang kurang pas untuknya, karena dia bukanlah
dari suku Betawi, terlebih dia memiliki garis keturunan suku Batak bermarga
“Harahap”.
Hampir
30 tahun lamanya ayahku mengabdikan diri pada Negara, dengan bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil di Instansi Pemerintah Republik Indonesia, dia mampu
menafkahi kami hingga saat ini tanpa adanya rasa kekurangan baik itu berupa
materi maupun non-materi, karena disertai dengan rasa puji syukur dia dan
keluarga kepada Allah SWT.
Sedangkan
ibuku adalah sosok wanita yang luar biasa yang mampu mewarnai arti kehidupanku
ini, secara fisik ibuku bisa dikatakan sebagai sosok yang lemah, namun ketika
harus menyelamatkan anaknya, dia akan berubah 180° menjadi sosok yang kuat,
tangguh, pemberani dan tegas. Begitulah aku menggambarkan sosok ibuku bagaikan
malaikat. Ibuku merupakan anggota dari organisasi Dharma Wanita Persatuan di
instansi pemerintah tempat ayah ku bekerja.
Dan
adikku yang saat ini berusia 19 tahun, merupakan seorang mahasiswa Fakultas
Teknologi Industri di Universitas Gunadarma angkatan 2011, yang kini mengambil
cuti kuliah dikarenakan jenuh akan mata kuliah yang diambilnya.
Aku
dan keluargaku bertempat tinggal di jalan Lontar No. 47 RT 004/010 Kp. Curug
Tanah Baru, Beji – Depok. merupakan lingkungan yang asri dan nyaman dengan
tetangga yang ramah tamah dan juga lingkungan masyarakat yang bersahabat. Di
sinilah aku mulai mengenal huruf arab setelah sebelumnya orang tuaku
mengajarkan dan merekomendasikan aku untuk ikut pengajian, saat itu umurku
masih 5 tahun dan masih playgroup di
TK Melati Cipedak, Jakarta Selatan.
Setelah
aku mendapatkan ijazah TK, aku melanjutkan sekolah di SD Negeri Cipedak 01 Pagi
Jakarta Selatan. Di Sekolah Dasar, tepatnya saat aku kelas 6 SD merupakan masa
terindah dalam hidupku saat itu, karena aku dipertemukan oleh seorang wanita
yang aku suka -sebut saja Dwi Indriani- yang mungkin bisa dibilang cinta monyet.
Karena waktu itu guruku -Pak Sumardi- mengacak urutan bangku semua murid untuk
1 tahun kedepan, dan jadilah aku duduk bersebelahan dengan 2 wanita (Rizki
Aisyah Novarifiyanti dan Dwi Indriani) dengan aku di tengah-tengahnya. Tapi aku
tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menyampaikan perasaan itu padanya,
hanya bisa aku pendam dan aku jadikan motivasi untuk membuat diriku lebih hebat
dalam segala halnya serta membuat dia merasa kagum padaku. Adapun cara untuk
membuatnya kagum adalah dengan rajin belajar dan berencana untuk masuk sekolah
menengah pertama negeri (SMP N) yang aku dan dia idamkan, yaitu SMP Negeri 131
Jakarta Selatan.
Alhamdulillah
dengan doa, usaha, motivasi serta tekad yang kuat, Allah SWT mengizinkan aku
untuk melanjutkan sekolah di SMP Negeri 131 Jakarta Selatan. Tapi takdir
berkata lain, sekolahku dan dia ditempatkan berbeda, kalau tadi aku ditempatkan
di SMP Negeri 131 sedangkan dia di SMP Negeri 253. Spontan aku kaget setelah
menerima kabar itu melalui percakapan dengan dia lewat telepon dan bergegaslah
aku menuju SMP Negeri 131 untuk mengecek langsung kebenaran dari berita
tersebut. Dan benar saja, nama Dwi Indriani tidak ada di papan penerimaan siswa
baru SMP Negeri 131, bahkan dibagian cadangan pun aku tak menemukan namanya.
Sedih
bercampur rasa tidak menentu yang saat itu menghantuiku, apakah aku harus
bersyukur atas apa yang Allah SWT amanatkan untukku bersekolah di sekolah
idamanku, ataukah aku harus menyesali karena tidak satu sekolah lagi dengan
dia. Segera aku tepis rasa tak menentu itu disaat sesudah aku melihat
teman-temanku bersedih karena tidak mendapatkan sekolah negeri bahkan mereka
tidak mempunyai pilihan kecuali bersekolah di SMP Swasta, yang mana saat itu SMP
Swasta dipandang sebelah mata, dan didalam hatiku selalu bertanya-tanya “Kenapa
aku begini?” “Seharusnya aku bahagia!” “Seharusnya aku bersyukur!” “Aku masih
jauh lebih beruntung dari teman-temanku!” pertanyaan itu silih berganti
menghampiriku, hingga akhirnya aku dapat menentukan sikap untuk tidak
kekanak-kanakan, karena sebelumnya aku berpikir “Sekarang aku dan dia berbeda sekolah,
pasti tidak akan pernah bertemu lagi!” itulah akar dari timbulnya pertanyaan dan
keresahan didalam hatiku, setelah membuang jauh-jauh cara berpikir seperti itu,
aku mengalihkannya dengan “Suatu saat aku yakin pasti bisa bertemu dengannya
lagi, yang terpenting sekarang adalah aku harus membahagiakan orang tuaku” dan
dilanjutkan dengan membaca basmallah “Bismillahirrahmanirrahim”.
Kini
aku duduk dibangku sekolah menengah pertama yang aku idamkan, banyak teman dan
pengalaman baru yang aku dapatkan, mulai dari belajar beroganisasi, membuat anime, membuat komik, memetik gitar, teknik
sepak bola, bermain game PC, menonton
dan mendukung PERSIJA Jakarta bersama teman-teman yang membaur menjadi satu
yaitu The Jakmania dan juga
pengalaman-pengalaman lainnya yang tidak bisa aku lupakan.
Sewaktu
aku di Lebak Bulus, tepat disaat PERSIJA Jakarta menjamu PERSIB Bandung, aku
teringat Dwi Indriani -singkat cerita bahwa dia sangat menyukai PERSIJA
Jakarta, hal ini aku ketahui karena aku dan dia masih sering berhubungan lewat
telepon-, segera aku carikan souvenir
yang berbau PERSIJA Jakarta maupun The
Jakmania berupa syal, rencananya syal itu akan aku kasihkan sekaligus untuk
menyatakan cinta padanya. Tapi akibat kesalahanku lah yang terlalu cepat dan
tergesa-gesa untuk menyatakan cinta padanya, dengan faktor waktu yang kurang
mendukung serta faktor media penyampainnya yang terlalu biasa, sehingga cintaku
dibalasnya dengan bertepuk sebelah tangan. Sedih memang, tapi itulah kehidupan.
Setelah
2 tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya, akhirnya kami di pertemukan lewat
acara reunian yang bertepatan dengan malam pergantian tahun 2004 ke tahun 2005.
Di malam itu aku memang tidak ada keinginan untuk ikut serta dalam acara reunian,
karena rasa sedih, kesal, dan malu masih menyelimutiku akibat cintaku bertepuk
sebelah tangan, tetapi kembali lagi aku mampu menepis rasa kekanak-kanakan itu,
didalam hatiku berkata “Memang sih aku masih sedih, kesal dan malu sama dia,
tapi apakah iya aku harus begini terus dan memutuskan tali persahabatan dengan
dia dan juga sahabat-sahabatku?”
Bergegaslah
aku menuju tempat acara reunian sambil membawa syal yang waktu itu ku beli di
Lebak Bulus lalu memberikannya pada dia. Di sana aku bertemu dengan teman-teman
SD ku, senang rasanya dan rasa senang itu pun bertambah saat aku memberikan
syal dan berbicara dengan dia seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, bahkan
kami sempat foto bersama, tapi sangat disayangkan foto itu entah kemana,
padahal sudah ku back up di Friendster dan Live Connector -jejaring sosial terpopuler saat itu-.
Begitulah
pengalaman pribadiku saat masih berseragam putih-merah dan putih-biru baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, sebenarnya masih banyak lagi yang
ingin aku tuangkan lewat tulisan ini, tetapi berhubung waktuku yang begitu
padat sebagai mahasiswa jurusan psikologi di Universitas Gunadarma, maka aku
cukupkan sampai disini, semoga menjadi pelajaran serta motivasi untuk kita
semua.